Sahabat KISARA, seperti yang kita tahu pada tanggal 21 April setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Kartini. Raden Ajeng Kartini dikenal karena kegigihannya memperjuangkan emansipasi perempuan pada zamannya. Namun sayangnya, perempuan yang namanya dinyanyikan dalam lagu tersebut hanya dapat berjuang sebentar saja. Pahlawan nasional Indonesia ini menutup usianya di angka 25 tahun, yaitu saat melahirkan putra pertamanya, Raden Mas Soesalit Djojoadhiningrat. RA Kartini menutup usianya satu tahun setelah beliau menikah.
Berbicara soal pernikahan, RA Kartini pernah menuliskannya dalam surat yag diterjemahkan oleh Sulastin Sutrisno dalam buku Surat-Surat Kartini:
“Orang mencoba membohongi kami bahwa tidak kawin itu bukan hanya aib melainkan dosa besar pula. Telah berulang kali itu dikatakan kepada kami. Aduhai! Dengan menghina sekali orang sering kali membicarakan perempuan yang membujang!”
Sedari dulu hingga sekarang, masih ada stigma negatif tentang perempuan yang terlambat menikah dan tidak menikah. Hal tersebut membuat pernikahan di usia muda menjadi suatu hal yang ‘wajar’ untuk dilakukan. Beberapa waktu lalu sempat tersorot berita tentang pernikahan anak berumur 14 dan 15 tahun di Bantaeng dan mendapat ijin dari KUA (Kantor Urusan Agama) setempat. Tentu saja hal ini menimbulkan kontroversi karena mereka masih berada di usia sekolah. Peristiwa ini hanya satu dari sekian banyak pernikahan dini di Indonesia. Fenomena pernikahan dini ini bagaikan gunung es, yang tersorot hanyalah sedikit namun jika kita cari lebih dalam ternyata masih banyak peristiwa ini terjadi terutama di pedalaman Indonesia.
Menurut penelitian dari UNICEF, 85% perempuan yang menikah dini tidak lagi melanjutkan pendidikannya karena terpaksa putus sekolah. Selanjutnya, mereka tidak punya pilihan lain selain berkutat dengan pekerjaan rumahtangga ataupun mengurus anak. Tentunya ini bisa menimbulkan kerugian, karena sejatinya jika perempuan tersebut membina rumah tangga tentunya harus dalam kondisi matang baik secara pemikiran maupun perilaku. Oleh karena itu setiap perempuan wajib mendapat pendidikan agar mampu berpikir dan berperilaku secara matang.
Selain merenggut hak atas pendidikan, pernikahan dini juga memiliki dampak yang kurang baik untuk fisik dan psikologis (Ahmed, et all, 2014). Perempuan yang usianya terlalu dini sehingga belum cukup untuk melakukan hubungan seksual, biasanya akan meninggalkan efek traumatis (Ram, 2005 & Puri, 2003). Studi juga menunjukkan bahwa kelahiran di usia muda mampu mengarah ke komplikasi pada kelahiran. Fakta-fakta tersebut membuktikan bahwa pernikahan dini lebih banyak mendatangkan hal negatif dibandingkan positifnya.
Sahabat KISARA, kita sebagai pihak yang memiliki pengetahuan lebih memiliki peran untuk mengingatkan bahwa banyak sekali hal negatif yang timbul dari pernikah dini. Tentu akan lebih baik jika seorang kartini muda atau perempuan masa kini memilih untuk menikah setelah ia memiliki ilmu yang dirasa cukup. Karena perempuan yang berpendidikan, tentunya akan melahirkan generasi baru yang berkualitas. (han)
Oleh
Anya (Relawan KISARA)
Catatan Kaki:
Ahmed, Sadaf & , Saima & , Khan & Alia, Malka & Noushad, Shamoon. 2014. Psychological Impact Evaluation of Early Marriages. INTERNATIONAL JOURNAL OF ENDORSING HEALTH SCIENCE RESEARCH (IJEHSR). 184. 10.29052/IJEHSR.v1.i2.2013.84-86.
Puri, M., Cleland, J., & Matthews, Z. (2003, May). Extent of sexual coercion among young female migrant workers and their sexual health problems in Nepal.In annual meeting of the Population Association of America, Minneapolis, MN, USA
Ram, N. D. U. (2005). Associations Between Early Marriage and Young Women’s Marital and Reproductive Health Outcomes: Evidence from India.
Subdirektorat Statistik Rumah Tangga. 2015. “Kemajuan yang Tertunda: Analisis Data Perkawinan Usia Anak di Indonesia”. Jakarta, Indonesia: Badan Pusat Statistik
Picture by Nick Karvounis