Sebuah film menjadi salah satu media yang dapat menyalurkan kritik atas segala keresahan manusia dalam menjalani hidupnya. Lewat visualisasi oleh film, segala emosi yang hidup itu dapat terekam dan diamati dari segala perspektif. Isu seputar pembangunan manusia, HAM, gender, dan SARA kerap menuai konflik dan ketidakadilan dalam masyarakat. Semua itu dapat menjadi inspirasi banyak sineas untuk mengembangkan karya menjadi suatu film. Disinilah peran 100% Manusia mulai bekerja. Komunitas yang berasal dari Jakarta, Indonesia ini menggelar Festival Film 100% Manusia bertajuk merangkul segala kelompok diskriminan dan menjangkau kesetaraan yang inklusif. Di tahun kedua, 100% Manusia menggelar festival film ini, KISARA PKBI Bali menjadi salah satu mitra yang bekerjasama sebagai penyedia venue penayangan tiga film karya sineas di berbagai negara selama dua hari pada Jumat, 23 Januari 2019 hingga Sabtu, 24 Januari 2019. Berbagai kalangan hadir untuk menonton festival film ini seperti Yayasan Gaya Dewata, Minikino, dan tentunya relawan KISARA PKBI Bali.
Tiga film yang dibawakan 100% Manusia memiliki kritik tersendiri atas permasalahan yang sering dihadapi oleh masyarakat. Pada hari pertama, film Felicite dan film Fathers ditayangkan mulai pukul 16.00 hingga pukul 21.00 yang diikuti dengan sesi diskusi masing-masing film. Sedangkan pada hari kedua (Jumat/24), penayangan film Voice Within dimulai dari pukul 16.00 hingga 18.00. Adapun tema-tema menarik di setiap film yang diputar seperti film Felicite yang mengisahkan perjuangan perempuan penyanyi malam bernama Felicite yang bekerja keras mendapatkan uang untuk mengobati anaknya yang mengalami kecelakaan. Perjuangan itu diwarnai segala kesialan bertubi-tubi dengan latar belakang kehidupan masyarakat Afrika kelas bawah. Alur cerita film ini tergolong lambat dengan memperlihatkan segala detail raut emosi Felicite yang berwatak keras. Pada sesi diskusi, penonton cenderung berpendapat bahwa film Felicite adalah sebuah gambaran betapa pengorbanan besar seorang ibu untuk menyerahkan ‘tubuhnya’ demi anaknya.
Sedangkan Film Fathers menceritakan tentang berbagai konflik dalam hubungan pasangan homoseksual (gay) di Thailand yang memiliki anak adopsi. Bertajuk latar kondisi LGBT yang hingga saat ini menjadi perdebatan dalam hal penerimaan oleh masyarakat, film ini menyuarakan kritik atas ketidakadilan perlakuan yang kerap diterima oleh kaum homoseksual. Diikuti dengan pemutaran film Voice Within, alur cerita film menggambarkan bagaimana kepercayaan yang beragam seharusnya menyatukan setiap individu secara universal. Keberadaan etnis dan agama dalam film ini menjadi bagian yang justru digunakan untuk mengikat kebersamaan atas perbedaan.
Selama dua hari festival film 100% Manusia, film-film yang disajikan di KISARA PKBI Bali memang memiliki karakteristik tema yang seringkali di cap ‘tabu’ oleh masyarakat secara sosial, khususnya dalam isu gender dan ‘perbedaan’. Dengan diadakannya screening film-film ini, 100% Manusia mempunyai misi untuk membangun awareness terhadap kelompok marjinal agar dapat memperlakukan mereka dengan setara dan inklusif. Setelah menonton film pun, pengunjung merasa antusias dalam berdiskusi tentang isu yang diangkat dalam film dan mampu menambah wawasan mereka tentang bagaimana isu ketimpangan gender masih menjadi masalah besar di masyarakat kita. Lewat festival film 100% Manusia, menjadi refleksi bagi KISARA dan berbagai komunitas atau LSM lainnya untuk terus menumbuhkan semangat inklusifitas. Penanaman konsep kesetaraan gender penting demi mengurangi masalah sosial terkait perampasan HAM seorang perempuan maupun kaum LGBT, apalagi kita semua sama-sama manusia, untuk apa diperlakukan berbeda?