Cerpen: Kuncup Layu

Cerpen – Matahari tampaknya hari ini sedikit terlambat bangun. Jarum jam telah berkutat pada angka delapan, tetapi hari belum seterang biasanya. Sinar mentari sedikit terhalang jatuh ke bumi karena awan – awan menari menutupi mentari. Hal ini berbanding terbalik dengan perasaan Aira. Wajahnya begitu bersinar. Senyum tak lepas dari wajahnya.

Bagaimana mungkin dia dapat semendung hari ini? Hari ini merupakan hari bahagia baginya dan pacarnya, Nara. Hal itu karena hari ini tepat dua tahun mereka telah menjalin hubungan. Tentu saja ia bangga dapat menjaga hubungannya sejauh ini. Kalaupun ada permasalahan mereka selalu membicarakannya baik – baik.

Pernah suatu hari sebuah masalah besar menguji hubungan mereka. Kehidupan remaja yang selalu ingin mencoba dan mudah terpengaruh teman sebaya sempat menghampiri Nara.

Nara yang Aira percaya sebagai penjaga hatinya. Nara yang beriman dan Nara yang menjaganya, tidak ia temukan pada Nara lagi saat itu. Nara memintanya untuk menyerahkan kehormatannya. Aira tidak dapat percaya itu. Tentu saja Aira tidak mau. Mereka bertengkar hebat saat itu. Nara menuduh Aira tidak mencintainya karena tidak mau membuktikannya.

Aira yang sejak memasuki masa remaja telah dididik oleh ibunya untuk selalu menjaga kehormatannya memberikan Nara pengertian. Mencintai adalah saling menjaga dan menuntun ke arah yang baik.  Mencintai bukan artinya menyerahkan segalanya. Hidup mereka masih panjang, belum waktunya mereka melakukan hal itu. Karena hal itu dapat menghacurkan harapan – harapan mereka. Aira tidak mau itu terjadi. Akhirnya, Nara sadar hal itu dan tak pernah lagi meminta Aira melakukan hal itu.

Aira senang dapat melewati ujian sebesar itu. Ujian itu bukan hanya memperkuat iman mereka, tetapi juga memperkuat prinsip, tanggung jawab dan juga cinta mereka. Buktinya mereka dapat mempertahankan hubungan mereka selama dua tahun.

Prestasi meraka pun semakin meningkat. Belajar bersama, berlomba bersama, dan banyak hal yang memacu prestasi mereka yang mereka lakukan bersama – sama. Mereka merupakan pasangan paling serasi yang pernah ada di sekolah mereka. Dan kini mereka telah lulus bersama.

Aira diantar supirnya menuju ke rumah Nara. Ia ingin memberikan sedikit kejutan kecil pada pria yang ia cintai itu. Ia tidak sabar sampai di rumah berhalaman luas dengan pagarnya yang berwarna putih itu.

Darahnya mendidih melihat pandangan matanya. Nara berpelukan mesra dengan seorang gadis yang tidak ia kenal. Hatinya tidak percaya. Nara yang ia percaya, sanggup melakukan hal itu. Nara menghianati cinta yang selalu Aira jaga. Cinta yang tak pernah ia bagi.

Aira menghampiri keduanya. ’’Beginikah balasanmu padaku?’’ katanya sembari menangis. ‘’Penghianat…aku selalu menjaga cintaku padamu’’. Detik berikutnya ia menampar Nara juga gadis pasangannya itu. Emosinya benar – benar tak dapat ia kendalikan. Nara memohon maaf. Namun emosinya telah mengubah jalan pikirnya.

Hal itulah yang sempat terbesik dalam benaknya, namun diurungkannya. Ia hanya berdiri menatap mereka dan mengatur napasnya. Ketika Nara dan gadis yang bersama Nara berbalik menghadapnya dengan terkejut, ia hanya tersenyum. Dengan tenang tanpa setespun air mata seperti bayangannya, ia menghampiri mereka.

‘’Mari kita duduk!’’ Ajak Aira.

Karena rasa terkejut, Nara dan gadis itu hanya mampu menurut tanpa sebuah kata.

Dengan tersenyum Aira kembali berkata,‘’Aku harap kalian tidak berbicara sepatah katapun selama aku bicara. Kalian setuju?’’

‘’Maafkan aku…’’kata Nara

‘’Aku tak meminta kau minta maaf. Aku bertanya, kalian setuju untuk mendengarkan aku?’’

‘’Ma…’’ gadis itu memberanikan diri untuk ikut bicara. Namun, Aira langsung tersenyum untuk menegaskan pertanyaannya.

‘’Baiklah’’ jawab Nara yang sangat tahu sifat Aira. Aira tak suka seseorang menjawab pertanyaannya dengan jawaban yang tidak ia tanyakan.

‘’Maafkan aku. Mungkin semua memang salahku. Aku yang tidak mampu menjaga cintaku. Aku tak berhak menyalahkan kalian. Aku tak berhak menghukum kalian. Kalian juga tidak perlu minta maaf padaku, karena semua bukan salah kalian. Akulah yang bersalah. Aku hanya manusia biasa yang penuh dengan kekurangan. Akulah yang seharusnya minta maaf. Aku benar – benar menyesal selama ini aku telah menjadi buta dan tuli hingga tak menyadari cinta kalian. Aku minta maaf atas semuanya. Aku telah memisahkan kalian….’’ semuanya diam seribu bahasa. ‘’Nara, terima kasih atas semuanya. Kini tak akan ada lagi penghalang di antara kalian,’’  lanjutnya dan tutup dengan senyum.

Aira pergi tanpa memberi kesempatan kepada keduanya untuk berbicara. Ia begitulah dia. Ketika hatinya terlalu sakit, ia hanya tersenyum, tetapi menangis dalam hati. Nara yang terus mencoba menjelaskan semuanya tidak mampu lagi berbuat apa- apa . Aira tak memberinya kesempatan sedikit pun.

Tiga hari sudah kejadian itu terjadi, akan tetapi belum juga menemukan titik terang. Nara yang telah berusaha untuk minta maaf pada Aira tak juga mendapatkan tanggapan apapun. Kini dia tak ingin lagi berusaha. Lagipula ia telah berniat memutuskan gadis kolot itu.

Hari ini pesta perpisahan. Nara datang bersama dengan Aira. Aira tampak anggun menggunakan gaun putih dengan bando berwarna senada. Dan Nara bertambah tampan dengan setelan jas serta kemeja putihnya, setangkai mawar menghiasi kantung jasnya. Mereka pasangan paling serasi di pesta itu. Namun itu semua hanya banyangan Nara. Hari ini dia datang seorang diri. Bahkan ketika pesta hampir selesai ia tidak dapat menemukan Aira.

‘’ Nar, ini ada surat buat kamu dari Aira,’’ kata Saina sahabat Aira.

‘’Oh… thanks. Apakah dia menitipkan pesan yang lain untukku?’’

‘’Tidak. Aku tidak tahu apa pun lagi. Yang pasti, dia hanya menitipkan surat ini untuk kamu. Dan jangan tanyakan padaku tentangnya, karena kau tak akan mendapatkan informasi apapun.’’ Jawabnya ketus, meninggalkan Nara  sendiri.

Nara menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur. Perasaannya begitu letih hari ini. Dia begitu ingin bertemu Aira dan menjelaskan semuannya. Walaupun ia akan memutuskan gadis itu, namun ia tidak berharap ada masalah dengan gadis itu. Bagaimanapun gadis itu pernah mengisi hari – harinya. Membuat hidupnya terasa indah. Memberikan kebahagiaan padanya. Dan mencintainya dengan tulus.

Ia segera teringat pada amplop kecil yang diberikan Saina di pesta tadi. Diambilnya amplop kecil itu. Begitu dibuka, ia menemukan kertas putih. Akan tetapi, ia tidak menemukan sebuah huruf pun di kertas itu. Yang ia dapatkan hanya selembar kertas kosong. Hatinya kecewa.

Hari ini Nara memberanikan diri ke rumah Aira untuk meminta maaf pada Aira. Rumah tempat ia dulu sering belajar bersama. Rumah yang membuat ia merasakan memiliki keluarga lain. Rumah yang benar – benar nyaman baginya. Tetapi kini ia tak mungkin lagi bisa merasakan nyamannya rumah itu. Ia telah menyakiti tuan putri rumah itu. Tentu saja tak akan ada keramahan untuknya lagi.

‘’Selamat pagi, Tante!’’ sapanya kepada wanita berpakaian putih yang sedang menyiram bunga – bunga di halaman rumah megah itu.

Dengan tersenyum tipis wanita itu menjawab ‘’ Selamat pagi Nara. Mari masuk, duduk dan mengobrol. Tidak baik mengobrol sambil di luar seperti ini, tidak sopan rasanya!’’

Nara mengikuti ajakan wanita itu. Mereka terlihat akrab. Sejak ia menjalin hubungan dengan Aira, wanita itu telah menganggapnya seperti anak sendiri.

‘’Apa kamu mencari Aira?’’ tanya wanita itu.

‘’Iya Tante. Ada hal yang ingin saya sampaikan,’’ jawab Nara yang dibalas senyum oleh wanita itu. Mereka berdua terdiam sejenak. ‘’Tante Rara?’’

Air cucuran atap memang jatuh ke pelimpahan juga. Sifat Aira dan ibunya tidaklah beda jauh. Mereka terlihat sabar dan tenang. Selalu tersenyum.

‘’Sayang sekali, nak.  Aira sekarang tidak di kota atau pun di pulau ini. Dia pergi kemarin saat pesta perpisahan. Dan maafkan Tante tak dapat memberitahumu, menginformasikan Aira. Hal itu adalah permintaan Aira.’’

‘’Apa Tante tahu masalah kami?’’

Kembali sebelum menjawab wanita itu tersenyum. ‘’Tante ibunya. Sejak kecil Tante didik dia untuk berbagi bersama. Tante tak ingin ia menanggung bebannya sendiri. Karena Tante tak hanya bertanggung jawab mendidiknya,tapi juga mengarahkannya. Sampai saat ini, belum pernah ada rahasia di antara kami.’’

‘’Tante, saya minta maaf.’’

‘’Kenapa kamu minta maaf kepada Tante, Nara? Tante tidak merasa kamu bersalah kepada Tante.’’

‘’Saya telah menyakiti anak Tante.’’

‘’Ini jawaban yang Tante tunggu…. Jika kamu tahu itu akan menyakiti Aira, mengapa kamu lalukan? Apa kamu tidak berpikir sebelum melakukannya? Setahu Tante, Aira sangat mencintaimu.’’ mereka kembali terdiam sejenak.’’ Ingatlah, Nak. Tuhan tidak pernah tidur, ia selalu bekerja. Setiap tindakan manusia akan mendapatkan balasan. Baik itu hal yang baik, maupun hal yang buruk.’’

Jam dinding warisan nenek Aira berdendang 9 kali menandakan sudah waktunya Rara untuk bersiap – siap sebelum ke Rumah Sakit. ‘’Maaf, Nak. Tante tidak bermaksud mengusirmu.Tante harus bersiap – siap, Tante ada jadwal mengoperasi pagi ini’’

‘’Baiklah. Saya permisi dulu Tante.’’ Dengan langkah gontai Nara meninggalkan rumah megah itu. Ia benar – benar merasa menyesal telah menyakiti gadis sesempurna Aira. Tapi itulah penyesalan, selalu datang belakangan.

**********

Aira yang sedang menikmati masa liburannya, termenung di taman rumahnya. Ia begitu menikmati titik – titik air yang jatuh ke tubuhnya. Rerumputan di sekitarnya pun bersorak gembira menyambut titik – titik air itu.  Walapun hujan tak mampu menghapus tandus hatinya. Namun,  ia sangat menyukai hujan. Hujan mampu menghapuskan kekeringan yang terjadi. memberikan setitik harapan bagi setiap makhluk. menggoreskan pelagi indah dalam cakrawala. menyirami panasnya kehidupan. Itulah mengapa ia kagum pada hujan.

Air matanya mengalir begitu saja seperti titik – titik air yang ia kagumi itu. Cinta yang berawal dari mata mengalir seperti air menjadi air mata. Pikirnya penat. Ia ingin berlari melewati mesin waktu ke masa depan untuk melupakan semua yang terjadi.Ia sadar ia tidak mampu.Terkadang juga ia ingin kembali ke masa lalu, kala dia belum mengenal Nara.

Nara lelaki tampan yang ia kenal sejak ia memasuki bangku menengah atas. Ia yang ia percayai sebagai penjaga hatinya. Akan tetapi, semua hanyalah impian yang terjadi dalam mimpi. Dua tahun sudah Aira hanyut dalam dunia cintanya. Terlalu jauh ia terbawa arus kehidupan yang menyakitkan itu. Menunggu dan berharap tanpa sebuah kepastian.

**********

Aira berjalan menelusuri mol dengan diiringi lagu keputusan hati milik Acha. Lagu itu mengalun di kawasan itu.  Ia berhenti di sebuah toko boneka. Matanya melihat pemandangan yang mengejutkan hatinya. Seorang gadis berhenti dan terus memandangi salah satu boneka di toko itu. Tampak pula seorang pria yang nampaknya pacar gadis itu mengajaknya pergi.Walaupun gadis itu mau tetapi pandangan matanya terus menatap boneka itu. Otaknya mencoba merangkai serpihan – serpihan kejadian beberapa tahun lalu. Kejadian seperti gadis dan pria itulah yang dia alami beberapa tahun lalu. Akan tetapi, semua itu kini tinggal kenangan.

Dengan langkah yang letih Nara melangkah ke sebuah restoran yang dulu sering ia dan Aira kunjungi. Masih terlintas bayangan Aira yang selalu memesan makanan yang sangat pedas. Ia mengambil tempat duduk, tempat ia dan Aira dulu selalu duduk.

‘’Nara?’’ Tanya seorang pria menghampirinya.

‘’Dokter Ar?’’

‘’Ah…jangan panggil aku seperti itu di tempat umum seperti ini. Panggil saja aku Arjuna. Ngomong – ngomong, bolehkah aku duduk di sini? aku sedang menunggu seseorang.’’

‘’Tentu saja. Silakan duduk!’’

‘’Terima kasih.’’ Jawab Arjuna, kemudian duduk di bangku di depan Nara.

’’Kamu sendiri saja, Nara? Tidak bersama pacar atau istrimu?’’

‘’Istri?’’ kata Nara sambil tertawa. ‘’Pacar saja aku belum punya.’’

‘’Ah…“ kamu bercanda saja. Tidaklah mungkin pria setampan kamu tidak memiliki seorang pacar. Aku yakin banyak wanita yang mau padamu.’’

‘’Yah…mungkin tidaklah salah katamu. Tetapi apalah gunanya itu? Walaupun ada seribu wanita yang mencintaiku, tetapi wanita yang kucintai tidak mencintaiku, apalah gunanya semua itu?’’

‘’Memangnya wanita yang kamu cintai menolakmu?’’

‘’Kami saling mencintai. Sewaktu sama – sama duduk di bangku SMA kami pacaran, akan tetapi karena sebuah kesalahanku dia pergi. Aku benar – benar menyesal telah menjalin hubungan dengan gadis lain ketika itu, karena gadis itu tidaklah sebaik pacarku itu. Gadis itu ternyata hanya menjadikan hubunganku dengan pacarku sebagai taruhan.’’

‘’Lalu kamu menunggu mantan pacarmu itu?’’

‘’Aku ingin dia menjadi milikku.’’ Arjuna tersenyum kecil mendengar jawaban Nara itu.

‘’Optimislah Nara! Aku juga memerlukan

perjuangan panjang untuk bisa sampai bertunangan dengan tunanganku.’’

‘’Oh ya? Dapatkah kamu menceritakannya?’’

‘’Aku bertemu dengannya pertama kali di bandara. Aku salut padanya. Sebagai seorang wanita, dia dapat dikatakan tegar. Dia tidak meneteskan air mata setitikpun saat berangkat. Aku saja, saat itu akan menangis jika tidak ingat di sana sangatlah ramai. Ternyata kami satu universitas di Australia, walaupun jurusannya berbeda. Aku mengambil kedokteran umum, sedang dia psikologi. Apartemen kami yang bersebelahan dan kesamaan kami sebagai orang Indonesia membuat kami sangat dekat. Perlahan tetapi pasti  bunga – bunga cinta mulai tumbuh di taman hatiku dan aku yakin begitu juga dengannya. Ketika kunyatakan cintaku, dia berkata dia tidak bisa mencintaiku karena masih mencintai orang lain. Tapi aku tidak putus asa. Hubungan kami tetap baik. Aku bertekad menjaga hubungan baikku dengannya. Aku yakin tidak ada cinta untuk selamanya. Cinta tumbuh karena adanya sebuah komunikasi yang baik, begitu juga sebaliknya. Jika cinta tidak dipupuk komunikasi, perlahan cinta akan pudar. Tiga tahun aku menunggunya. Hingga di hari ulang tahunnya, aku kembali menyatakan cintaku dan … dia menerimaku. Ternyata luka yang disebabkan orang yang ia cintai dulu berbekas sangat dalam. Dua tahun lamanya aku menyakinkan dia. Aku meyakinkan bahwa aku setia padanya. Dan semua perjuanganku tentu tidak sia – sia. Tiga bulan lalu kami bertunangan dan tiga bulan lagi kami akan mengarungi lautan kehidupan baru,’’ tutur Arjuna dengan senyum yang tak lepas dari wajahnya.

‘’Tiga bulan lagi? Mengapa lama sekali?’’

‘’Dia masih harus menjadi narasumber beberapa seminar di beberapa kota. Dan aku juga harus mengurus beberapa pasien. Jadi kami sepakat menikah 3 bulan lagi. Selain itu, keluarga juga mengatakan bahwa hari itu memang hari yang bagus.’’

‘’Oh….maaf aku terlambat.’’ Kata seorang wanita di belakang Nara. Wanita itu mengejutkan Nara. Ketika Nara berbalik untuk melihat wanita itu, mukanya merah dan matanya melotot tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Ia kagum. Wanita itu begitu cantik. Walaupun bersandang kacamata di wajah wanita itu, tetapi tidak menghilangkan kecantikannya yang alami.

‘’Duduk, Aira!’’ seru Arjuna. ’’Kalau aku mampu menantimu selama tiga tahun,  tentu tiga puluh menit bukanlah hal yang susah…. Oh, hampir saja aku lupa. Kenalkan ini Nara. Dia orang yang aku tolong sewaktu kecelakaan di dekat rumah yang akan kita beli. Dan Nara, ini tunanganku, Aira.’’ Baik Aira maupun Nara tidak ada yang mengulurkan tangan, mereka hanya terdiam.

‘’Sayang…. Kamu tahu kan mantan pacarku?’’

‘’Tentu saja aku tahu, Aira,’’ jawab Arjuna.’’Oh, ya Tuhan….aku lupa. Nara namamu sama dengan…’’

‘’Dialah orangnya,’’ jawab Aira.

‘’Aira…aku minta maaf atas….’’ Nara memberanikan diri berbicara.

‘’Sudahlah Nara, kita lupakan semuanya. Biarlah semua itu menjadi masa lalu. Biarlah semua menjadi pelajaran dalam hidup kita. Aku tak ingin terlalu sering melihat dengan sepion masa lalu. Hal itu dapat menyebabkan Tuhan sulit menggandeng tanganku. Aku tak mau itu terjadi,’’ jawab Aira.

‘’Sebaiknya aku pergi dulu, kalian bicaralah berdua.’’ Kata Arjuna bersiap–siap pergi.

Aira  yang mengtahui perasaan cemburu Arjuna segera mengambil tangan Arjuna dan ikut berdiri, bersiap pergi. ‘’Tunggu sayang. Kita akan pergi bersama, sudah tidak ada lagi pembicaraan antara aku dan Nara.’’

‘’Tunggu Aira, aku perlu sedikit penjelasanmu.’’

‘’Tentang apa?’’ tanya Aira, lalu memanggil pelayan restoran untuk mengambilkannya air. Tidak lama kemudian pelayan itu kembali dengan membawa sebaskom air.

‘’Tentang surat ini.’’ jawab Nara. Kemudian ia mengeluarkan sepucuk surat tak bertuliskan apapun dari dompetnya.

‘’Oh…surat itu. Lupakan sajalah! Lagi pula kuyakin kau telah melupakanku. Buktinya kau tak menemukan apa pun di surat itu, bukan?’’

‘’Aku tak mengerti??’’

Masih seperti yang dulu, Aira selalu mengawali semua jawabannya dengan senyum. ‘’Aku pernah memberitahumu mengenai kertas putih yang ditulisi  kulit jeruk bali, bukan?’’. Aira memasukkan kertas itu ke dalam air di baskom tadi. Seketika itu, huruf – huruf terangkai menjadi kata terlihat. Rangkaian – rangkaian kalimat mulai terbaca.

 

Sesungguhnya hatiku hancur Nara. Kau yang kucintai dengan tulus menghianatiku. Tapi aku tak bisa membencimu. Ketika cinta telah tumbuh, tak mudah menghapusnya dari taman hati. Walau terkadang terbesik untuk menyesal, akan tetapi aku tidak menyesal. Tidak akan ada sebuah penyesalan, yang ada hanyalah penghargaan abadi atas keputusan – keputusan yang aku ambil. Keputusanku adalah aku masih mencintaimu, SAMPAI SAAT INI. Aku akan menunggu di tempat pertama kali kita bertemu. Tempat bunga – bunga cinta bersemi dan bermekaran. Dengan waktu yang sama ketika kita bertemu saat itu. Aku masih menjaga cintaku padamu hingga ku tak mampu menjaganya lagi. Aku tak pernah mengatakan sesuatu yang tak sanggup ku penuhi. Tapi jika hingga pertengahan study-ku di Australia kau tak aku temui, tak ada yang bisa kujanjikan lagi padamu.

 

(Natalya/KISARA)

ilustrasi: www.jhocy.com

Leave a Replay

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top