Bahaya Bullying Di Lingkungan Sekolah (Studi Kasus Di Sma Negeri 5 Denpasar)

Oleh: Ida Ayu Dinda Maharani – SMA Negeri 5 Denpasar (Juara III lomba artikel World Aids Day 2019)

Sekolah merupakan salah satu lembaga pendidikan formal yang mempunyai peranan sebagai penyelenggara proses pembelajaran, di mana kepala sekolah, guru, dan para pendidik lainnya secara bersama-sama melaksanakan fungsi dan tujuan pendidikan nasional Indonesia. Sekolah merupakan lembaga yang membantu menumbuhkembangkan potensi dasar yang dimiliki oleh peserta didik. Tidak hanya dalam aspek intelektual, namun dalam aspek sikap dan tingkah laku serta keterampilan motorik, mutlak untuk dikedepankan. Indonesia memiliki ideologi dasar yang didalam nya terdapat nilai-nilai sebagai pijakan dalam berbangsa dan bernegara, Namun eksistensi nilai dalam pancasila tersebut sedang tidak berada pada ruh nya, sehingga berujung pada fenomena-fenomena sosial yang berdampak buruk terhadap masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya. Fenomena sosial yang dimaksud salah satunya tindakan dan/atau perilaku bullying, yang belakangan ini kerap menjadi isu krusial ditengah tengah masyarakat.

Perilaku bullying merupakan suatu masalah universal yang menyentuh hampir setiap orang, keluarga, sekolah dan masyarakat. Disamping itu juga merupakan suatu perilaku yang kerap kali diulang, sistematis dan diarahkan seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain untuk menciptkan resiko bagi kesehatan dan juga keselamatan. Bullying terjadi dalam bentuk kekerasan fisik dan verbal, intimidasi, menyebar rumor, pencurian, perusakan harta milik orang lain, pelecehan seksual, perpeloncoan, orientasi ras, dan etnis (Sampson, 2002).

Menurut Coloroso (2007), McCulloch, dan Barbara (2010) terdapat empat jenis perilaku bullying yang terjadi dalam kehidupan masyarakat pada saat ini diantaranya, Verbal Bullying, Sosial Bullying, Fisik Bullying, dan Cyberbullying. Perilaku bullying kerap menjadi sorotan dalam kalangan masyarakat dikarenakan yang menjadi korban dan pelaku adalah berada pada usia remaja atau masih dalam ruang lingkup sekolah. Sehingga dampak yang terjadi bisa serius karena berkaitan dengan fisik dan mental korban bullying.

Menurut data KPAI yang disampaikan oleh Retno Listyarti yang dilansir dari TribunNews.com (27/12/2018), mengatakan bahwa Cyberbullying di tahun 2018 meningkat cukup signifikan dikalangan para siswa di kota besar seiring dengan penggunaan internet dan media sosial dikalangan remaja. Sebagaimana yang terjadi di SMA Negeri 5 Denpasar hasil penelitian yang dilakuan penulis bersama tim, bahwa fenomena bullying sangat menghkwatirkan senada hasil survey menunjukkan bahwa yang menjadi korban bullying hampir disetiap kelas di SMA Negeri 5 pernah terjadi korban bullying. Dari total 36 kelas di SMA Negeri 5 Denpasar dengan jumlah 36 siswa di masing-masing kelas, sekitar 1,8 % siswa disekolah pernah menjadi korban bullying.

Berdasarkan data di atas yang menggambarkan dampak atau akibat dari perilaku bullying tersebut, maka harus dicermati bersama dan menjadi perhatian serius. Bahwa perilaku bullying bukanlah suatu tindakan yang biasa atau dianggap sebagai tindakan yang lumrah. Namun dapat diketahui bahwa perilaku bullying dalam kurun waktu terakhir ibaratkan sebagai hantu yang menghantaui kehidupan masyarakat, khususnya anak anak.

Program anti-bullying di sekolah perlu dilakukan antara lain dengan cara menggiatkan pengawasan dan pemberian sanksi secara tepat kepada pelaku, atau melakukan kampanye melalui berbagai cara. Memasukkan materi bullying ke dalam pembelajaran akan berdampak positif bagi pengembangan pribadi para siswa. Pemberdayaan individual bagi anak. memberi kesempatan agar anak mau mengomunikasikan secara terbuka kepada orangtua, dan guru yang mereka percaya dapat membantu mereka. Perlu dilakukan strategi lainnya. Latih anak untuk berani bicara, dengan kata lain bertindak asertif. Biarkan pelaku tahu bahwa anak tidak nyaman dengan perlakuannya, tetapi dengan kata-kata yang tidak balik menyakiti dan tidak membiarkan tindakan bullying terus berlangsung. Anak sebagai korban memiliki hak untuk membela diri, dan ada cara cerdas untuk melakukannya. Pastikan anak berbicara dengan cara yang memecahkan masalah dan tidak menciptakan lebih banyak masalah dengan orang lain. Patti Criswell (2009).

Leave a Replay

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top