Quality Education for Better Future

instagram.com/kisara_bali

I hear that all the time for people around me but I refuse to listen to it. I think that I know myself and I know what life I want to live – Maudy Ayunda


Kenapa perempuan sekolah tinggi-tinggi? Sekolah jauh-jauh? Ujung-ujungnya jadi ibu rumah tangga juga kan?

Mungkin ini hanya beberapa persen dari anggapan negatif terhadap perjalanan pendidikan dan karier seorang perempuan. Entah apa yang membuat pandangan ini muncul, intinya secara tidak langsung dapat mempengaruhi masa depan seorang perempuan. Karena bagaimanapun juga, karakter, pandangan, hingga perilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Jadi, pandangan seperti apa yang terbangun di lingkungannya, pandangan tersebutlah yang diterima seseorang dalam perjalanan hidupnya.

Ada satu hal yang menjadi poin pertanyaan nih. Haruskah kita menerima semua pandangan yang tercipta dan berkembang di lingkungan kita?

Nah, tergantung pada individu masing-masing, karena kita memiliki hak untuk menerima ataupun menolaknya. Jika ada hal yang tak sejalan dengan apa yang kita harapkan, tak jadi masalah untuk menolak asalkan masih dalam konteks yang positif. Tetapi rupanya ada hal lain yang dilakukan oleh seorang aktris ternama Indonesia nih, Maudy Ayunda. Ia memilih untuk melanjutkan pendidikannya dan tidak menghiraukan pandangan negatif dari orang lain apalagi mengambil keputusan untuk menolak pandangan tersebut. Tetapi ia tetap menerima pandangan-pandangan positif sebagai motivasinya untuk tetap semangat menjalani kuliah. Kini ia telah selesai menempuh pendidikan magisternya di Stanford University dengan jurusan Administrasi Bisnis dan Pendidikan.

Photo by MD Duran on Unsplash

Kali pertama mendengar soal quality education, mungkin yang ada di bayangan kita adalah poin keempat SDGs. Iya, Sustainable Development Goals, sebagai hasil kesepakatan para pemimpin dunia sebagai pengganti Millenium Development Goals (MDGs) akibat beberapa tujuan global yang belum tercapai sejak ditetapkan khususnya dalam hal kualitas pendidikan. Ketidaktercapaian itu didukung oleh beberapa fakta, meliputi:

  • Pendaftaran pendidikan dasar di negara berkembang mencapai 91%.
  • Lebih dari 50% anak-anak di dunia yang belum bersekolah hidup di Sahara, Afrika.
  • Anak-anak yang keluar dari sekolah separuhnya berasal dari daerah yang terkena dampak konflik.
  • Pemuda yang tidak memiliki keterampilan keaksaraan dasar di seluruh dunia mencapai 103 juta pemuda dengan 60% perempuan.

Rendahnya kualitas dan tidak meratanya pendidikan di seluruh dunia terlihat jelas dari data tersebut. Apalagi jika kita tilik poin terakhir yang menitikberatkan perbandingan laki-laki dan perempuan. Bisa-bisanya yang tidak memiliki keterampilan keaksaraan dasar lebih banyak pada perempuan dibandingkan laki-laki, kenapa? Karena kemampuan seorang perempuan memang lebih rendah? Atau memang tidak mendapatkan kesempatan untuk menempuh pendidikan?

Belum lagi nih, Kehidupan sosial budaya masyarakat yang kian terwariskan secara turun temurun juga secara tidak langsung mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap berbagai hal. Syukur apabila pandangan ini membawa perubahan ke arah kemajuan, nah bagaimana kalau enggak?

Nah, meski demikian, hal ini adalah hal yang wajar. Terlebih lagi di Indonesia sebagai negara berkembang dengan beribu-ribu pulau dan keberagaman budayanya. Keberagaman pandangan pun tak jadi masalah. Hal penting yang mesti kita ingat, yaitu pandangan apapun yang tercipta di tengah keberagaman ini, kemampuan untuk menyesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan sosial sangat penting agar pandangan tersebut selalu membawa dampak positif.

Pandangan masyarakat tentang dunia pendidikan anak perempuan cukup tinggi terlebih lagi di tempat yang jauh kerap kali menjadi bahan pembicaraan dalam tiap diskusi masyarakat yang belum paham akan esensinya. Jika ditanya, kenapa anak perempuan harus sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya juga akan tetap melayani suami dan mengurus anak-anaknya di rumah? Orang yang paham akan quality education dalam hubungannya dengan gender equality yang sama-sama merupakan bagian tujuan pembangunan global mungkin akan menjawab dengan sederhana “Ya, karena perempuan punya banyak peran begitupun laki-laki”. Tak hanya tentang suami pencari nafkah ataupun istri seorang ibu rumah tangga, tetapi tentang bagaimana keduanya dapat bekerja sama untuk menyelesaikan semuanya. Entah perempuan yang bekerja untuk perekonomian keluarga atau justru laki-laki yang mengerjakan pekerjaan rumah, yang terpenting adalah saling melengkapi nih satu sama lain.

Begitupun dengan pendidikan dan dunia kerja. Salah satu pekerjaan yang menjadi stigma dalam masyarakat untuk seorang laki-laki adalah diplomat. Bayangkan saja apabila semua diplomat adalah laki-laki, bagaimana suasana kantor kementerian luar negeri Indonesia saat ini? Bu Retno, Menlu RI saat ini sudah membuktikan bahwa pekerjaannya ini bukan hanya untuk laki-laki bahkan perempuan yang menjadi penggeraknya saat ini.

Global Early Adolescent Study (GEAS) yaitu sebuah studi yang bertujuan untuk memahami faktor-faktor pada periode awal remaja (10-15 tahun) yang menghalangi atau mendukung pertumbuhan yang sehat, menghasilkan bahwa ada sebanyak 93,3% remaja perempuan yang menyatakan orang tuanya mengharapkan mereka untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Begitupun dengan remaja laki-laki, orang tuanya juga mengharapkan hal yang sama dalam capaian pendidikannya.

Di balik banyaknya orang-orang yang memiliki pandangan yang bertolak belakang dengan jalan hidup kita. Ada banyak orang juga yang mendukung setiap langkah kita untuk mencapai mimpi. Tetap berjuang, lakukan yang terbaik. Tidak perlu menyesuaikan setiap pilihan yang kita ambil dengan pandangan orang lain, karena sejatinya kita tidak punya kewajiban untuk menyenangkan hati setiap orang dengen memenuhi setiap harapannya dan mengikuti pandangannya.

 

Sintya Anggreni

Relawan Kisara

Referensi

GEM. (2016). Laporan Pemantauan Pendidikan Global 2016. Global Education Monitoring Report Team, 67. https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000245745_ind

Kementerian PPN. (2020). Pedoman Teknis Penyusunan Rencana Aksi – Edisi II Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/ Sustainable Development Goals (TPB/SDGs). Kementerian PPN.

Kesehatan Remaja Awal di Kota Denpasar: Temuan dari GEAS-Indonesia: 2019. Yogyakarta: UGM Center for Reproductive Health

Leave a Replay

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top