Sekilas membaca judulnya mungkin tak sedikit dari kita bertanya-tanya, “Emang dorongan seksual di usia tua nggak perlu dikendalikan ya?”
Berbanding terbalik dengan usia muda, pada fase ini justru pasutri berlomba-lomba datang ke dokter ahli seksologi untuk berkonsultasi agar dapat meningkatkan dorongan seksualnya, karena semakin bertambahnya usia dorongan seksual ini akan mengalami penurunan seiring dengan berkurangnya produksi hormon estrogen pada wanita dan testosteron pada pria. Terlepas dari hal itu, tentunya pada fase ini, seseorang yang melakukan hubungan seksual sudah mengalami kematangan, tak hanya secara fisik dan psikis, tetapi juga secara sosial dan ekonomi. Sehingga risiko-risiko yang mungkin terjadi akibat hubungan seksual ini dapat dipertanggungjawabkan. Namun, pasutri tetap harus tetap memperhatikan frekuensi terbaik untuk berhubungan seksual, agar tidak dilakukan secara berlebihan dan memicu timbulnya risiko negatif.
Lalu bagaimana dengan remaja?
Perubahan psikis sebagai salah satu tanda terjadinya pubertas mendorong rasa keingintahuan remaja tentang banyak hal salah satunya terkait masalah seksual. Keingintahuan ini di satu sisi dapat menjadi hal positif karena dengan pemahaman yang baik mengenai seksualitas khususnya risiko hubungan seksual, membuat remaja berfikir berulang kali bahkan menunda untuk melakukan hal ini sehingga hal-hal negatif seperti kehamilan tidak diinginkan, aborsi, hingga infeksi menular seksual dapat dicegah. Namun, di sisi lain tak sedikit remaja menjadikan pengetahuannya ini sebagai dorongan untuk melakukan aktivitas seksual, ditambah lagi dengan adanya rangsanan dari luar, baik itu berupa gambar/visual, suara, bau-bauan, ataupun sentuhan yang melibatkan panca indra. Selain itu, kehadiran sosial media memungkinkan remaja untuk membagikan ataupun melihat video dan gambar berbau pornografi secara mudah. Ada dua kemungkinan respon yang terjadi, di satu sisi mungkin remaja akan berfikir jangan sampai hal tersebut terjadi pada dirinya, namun di sisi lain remaja justru berfikir hal ini menjadi boleh untuk dilakukan karena sudah dipublikasikan secara bebas.
Dorongan seksual adalah suatu minat/fantasi/keinginan karena adanya rangsangan seksual sehingga timbul dorongan aksi dan menghasilkan perilaku/aktivitas seksual. Timbulnya dorongan seksual di usia muda adalah hal yang wajar, karena adanya aktivitas hormon yang memberikan ciri kelamin primer dan sekunder pada remaja yang mengalami pubertas. Setiap kalangan umur berada pada fase seksualitas yang berbeda-beda dan memberikan ciri yang berbeda pula, hal tersebut meliputi:
- Fase Oral, dialami oleh bayi baru lahir yang akan mendorong keinginannya untuk menghisap segala sesuatu yang dipegang;
- Fase Anal, dialami oleh anak berusia tiga tahun, contohnya pada saat anak berupaya untuk menahan buang air besar;
- Fase Valik, dialami oleh anak berusia tiga hingga enam tahun, peran orang tua untuk memberikan edukasi sangat diperlukan pada fase ini untuk menghindari anak mengalami agresi seksual apabila orang lain memberikan dorongan seksual;
- Fase Laten, dialami oleh anak berusia enam hingga dua belas tahun, umumnya dorongan seksual yang dimilikinya tidak terlihat karena pada fase ini anak akan fokus pada aktivitas-aktivitas untuk meningkatkan kapasitas dirinya baik itu secara akademik maupun nonakademik;
- Fase genital, dialami oleh anak berusia dua belas tahun, pada usia ini hormon estrogen dan testosteron sudah aktif dan organ reproduksi mulai menghasilkan sel telur dan sel sperma, sehingga memungkinkan terjadinya menstruasi dan mimpi basah. Pada saat ini, anak juga mungkin untuk melakukan masturbasi hingga melakukan aktivitas seksual (kissing, necking, petting).
Walaupun adanya rangsangan yang memicu remaja melanjutkan dorongan seksualnya untuk melakukan aktivitas seksual. Remaja hendaknya dapat mengandalikan hal tersebut, mengingat banyaknya risiko-risiko yang mesti dipertanggungjawabkan. Namun, faktanya sekitar 30% remaja yang berusia di bawah 20 tahun sudah melakukan hubungan seksual, tentunya hubungan seksual pra nikah. Pada kondisi ini, risiko yang lebih berat ditanggung oleh seorang perempuan, selain mengalami kehamilan tidak diinginkan yang mengharuskannya putus sekolah, hal ini juga memicu seorang perempuan mengalami gangguan psikososial akibat stigma dan diskriminasi dari orang-orang di lingkungan sosialnya. Berbeda halnya pada seorang laki-laki, memang bagi masyarakat laki-lakipun dianggap bersalah, namun dalam pergaulan sebayanya dia akan merasa bangga dan keren akibat hal yang dilakukannya. Didikan yang kurang tegas dan ketidakpedulian orang tua terhadap lingkungan pergaulan anaknya juga dapat memicu terjadinya hal ini, karena memberikan kesempatan pada anaknya untuk terjerumus ke dalam pergaulan bebas. Selain itu, tak jarang orang tua bersikap pasrah dan memiliki perspektif untuk tetap tenang, karena jika anaknya hamil masih dapat digugurkan.
Secara sederhana siklus respon seksual diawali oleh sebuah rangsangan kemudian menimbulkan dorongan seksual, yang pada akhirnya menghasilkan aktivitas/perilaku seksual. Puncak atau klimaks dari aktivitas ini disebut orgasme, yang mana pada alat kelamin perempuan terjadi lubrikasi menyebabkan munculnya cairan di area kelamin. Sedangkan pada laki-laki terjadi ereksi karena adanya aliran darah yang masuk pada rongga-rongga penis dan terjadi ejakulasi yang ditandai dengan keluarnya cairan spema untuk dibawa ke organ reproduksi wanita melalui persetubuhan. Risiko-risiko yang mungkin dialami oleh remaja yang aktif melakukan hubungan seksual pra nikah, meliputi:
- Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD);
- Infeksi Menular Seksual (IMS), seperti gonore dan sifilis;
- HIV/AIDS (Human Immune Deficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome);
- Aborsi menyebabkan infeksi hingga kematian;
- Mengkonsumsi bahan-bahan untuk menggugurkan kandungan menyebabkan efek samping.
Agar terhindar dari risiko-risiko tersebut, maka hal yang dapat dilakukan remaja adalah mengendalikan dorongan seksualnya dengan mengisi waktu luang yang dimiliki melalui kegiatan-kegiatan positif untuk meningkatkan kemampuan akademik, mengembangkan bakat, dan melatih softskill.
Kemudian apakah berpacaran itu boleh di usia remaja?
Tentu saja boleh tetapi dengan pemahaman yang baik bahwa berpacaran bukan bertujuan untuk melanjutkan dorongan seksual menjadi aktivitas/perilaku seksual tetapi berpacaran untuk mencari partner yang dapat mendukung dalam perjalanan meraih cita-cita, menegur apabila kita berbuat salah, dan saling mengisi kekurangan dengan kelebihan masing-masing karena akan ada waktu yang tepat bagi kita untuk melengkapi siklus respon seksual agar berjalan dengan baik, yaitu apabila diri kita sudah siap secara fisik, psikis, sosial, dan ekonomi. Sehingga tidak menimbulkan risiko yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain di sekitar kita.
Dirangkum dari #Siaran Ayo Sehat “Mengendalikan Dorongan Seksual di Usia Muda”
PRO 2 FM (RRI Denpasar) bersama dr. Oka Negara (Sabtu, 28 November 2020)
Sintya Anggreni
Relawan Kisara