
Perubahan selalu datang tanpa suara, tetapi dampaknya terdengar di mana-mana. Dalam dunia HIV, perubahan sosial dan kesehatan tidak boleh mengalahkan keberlanjutan layanan. Sebab di balik layanan HIV, ada kehidupan yang sedang diperpanjang dan masa depan yang sedang dijaga.
Hari AIDS Sedunia 2025 dirayakan di tengah dinamika besar yang sedang dialami banyak daerah di Indonesia, termasuk Bali. Tema global “Together Against Change, Keep HIV Services” diterjemahkan secara lokal menjadi “Bersama Hadapi Perubahan, Jaga Layanan HIV”—sebuah seruan yang terasa sangat relevan, terutama ketika epidemi HIV di Indonesia memasuki fase yang lebih kompleks. Perubahan sosial, mobilitas penduduk, transformasi digital, hingga transisi pendanaan global ke nasional telah menempatkan penanggulangan HIV di persimpangan yang menentukan.
Bagi Bali, momentum Hari AIDS Sedunia menjadi ruang refleksi untuk melihat kembali apa yang telah dicapai dan apa yang harus dikejar. Dengan estimasi 31.686 orang hidup dengan HIV, dan 28.676 kasus (91%) telah ditemukan menurut SIHA awal 2025, Bali termasuk daerah yang paling progresif dalam deteksi. Namun capaian ini tidak berarti perjalanan selesai. Tantangan terbesar justru terletak pada dua hal yang saling terkait: memastikan yang sudah ditemukan tetap berada dalam layanan, dan memastikan layanan tetap stabil di tengah arus perubahan.
Mengingatkan Kembali: Apa Itu HIV?
Di tengah derasnya informasi digital, pemahaman dasar tentang HIV sering kali justru kabur. Karena itu, pengingat sederhana menjadi penting: HIV menular melalui tiga kemungkinan cara utama: 1) Hubungan seksual tanpa kondom dengan orang yang terinfeksi HIV 2) Paparan darah yang terkontaminasi HIVl 3) Penularan dari ibu ke bayi selama kehamilan, persalinan, atau menyusui. HIV tidak menular melalui bersalaman, berpelukan, batuk, berbagi piring, atau tinggal serumah. Pandangan keliru inilah yang sering memicu stigma.
ARV bukan sekadar obat—ia penyelamat hidup. Dengan terapi ARV yang diminum setiap hari, HIV dapat dikendalikan secara efektif. Ketika viral load seseorang menjadi tidak terdeteksi, ia tidak menularkan HIV kepada pasangan seksualnya. Ini dikenal sebagai konsep global U = U (Undetectable = Untransmittable).
Kondom tetap alat pencegahan paling efektif. Kondom mencegah HIV, IMS lain, dan kehamilan tidak direncanakan. Efektivitas kondom dalam mencegah HIV mencapai 95–98% bila digunakan dengan benar. Kondom bukan sekadar alat; ia adalah wujud perlindungan, tanggung jawab, dan pilihan sadar untuk hidup sehat. Tetapi realitasnya, penggunaan kondom masih juga rendah, terutama pada: pasangan muda, kelompok berisiko tinggi, pasangan tidak tetap, pekerja pariwisata dengan mobilitas tinggi. Hambatannya beragam: malu membeli, mitos “mengurangi kenikmatan”, tekanan pasangan, hingga minimnya edukasi sejak remaja. Inilah ruang intervensi yang harus diperkuat.
Siapa yang Paling Banyak Terdampak?
Usia. Data Bali menunjukkan bahwa puncak kasus baru berada pada kelompok 20–29 tahun, disusul kelompok usia 30–39 tahun. Ini artinya epidemi bergeser pada kelompok produktif yang aktif secara ekonomi, digital, dan mobilitas sosial.
Pola Risiko. Sumber risiko tertinggi masih didominasi hubungan seksual heteroseksual tanpa kondom, hubungan seksual sesama jenis laki-laki (LSL), penggunaan Napza suntik (menurun tetapi tetap signifikan di kelompok tertentu) dan lebih sedikit penularan dari ibu ke bayinya.
Epidemi yang Bergerak Cepat
Epidemi HIV tidak stagnan; ia bergerak mengikuti dinamika masyarakatnya. Di Bali, perubahan demografi epidemi terlihat jelas. Usia produktif—terutama kelompok 20–29 tahun—tetap menjadi episentrum kasus baru. Kelompok ini mewakili generasi digital yang terhubung dengan informasi dalam sekejap, tetapi ironisnya masih hidup dengan banyak mitos tentang HIV.
Paparan informasi yang tak terverifikasi, gaya hidup urban, serta ketimpangan literasi kesehatan seksual menciptakan ruang risiko baru. Banyak anak muda mendapatkan informasi tentang seksualitas dari ruang digital yang tidak selalu akurat. Di sisi lain, mereka enggan bertanya pada tenaga kesehatan karena takut dicap, takut dihakimi, atau sekadar tidak merasa nyaman.
Kesenjangan antara akses informasi dan kemampuan memahami informasi ini menciptakan paradoks: pengetahuan melimpah, tetapi literasi rendah. Dalam konteks HIV, paradoks ini bisa berujung fatal.
Di sisi lain, Bali sebagai daerah dengan mobilitas tinggi—baik akibat pariwisata maupun pergerakan tenaga kerja—menghadapi tantangan tambahan. Mobilitas menciptakan ruang risiko baru dan menyulitkan penjangkauan. Seseorang bisa mengetahui status HIV-nya di satu kota, tetapi bekerja di kota lain, lalu pindah lagi dalam hitungan bulan. Tanpa mekanisme penguatan layanan dan sistem pelacakan yang baik, keberlanjutan terapi ARV menjadi rapuh.
Stigma sebagai Epidemi Bayangan
Di ruang publik, percakapan mengenai HIV telah lebih terbuka dibanding dua dekade lalu. Namun stigma tetap menjadi epidemi kedua yang berjalan tanpa henti. Banyak orang masih mengaitkan HIV dengan moralitas, bukan dengan fakta medis. Ketika seseorang terlambat diidentifikasi, sering kali bukan karena tidak tahu risiko, tetapi karena takut “apa kata orang”.
Dalam konseling, sering didengar kalimat serupa: “Saya takut keluarga malu, dokter.” Atau, “Saya takut tidak diterima di tempat kerja.”
Ketakutan ini bukan imajinasi; ia nyata. Dan ketakutan inilah yang membuat banyak orang menunda tes, datang terlambat, dan akhirnya menjalani pengobatan dalam kondisi tubuh yang sudah sangat lemah.
Ilmu kedokteran telah lama membuktikan bahwa HIV dapat dikendalikan secara efektif. Seseorang yang minum ARV teratur hingga mencapai viral load tidak terdeteksi tidak dapat menularkan virus kepada orang lain (U=U). Ini adalah salah satu capaian ilmiah terbesar abad ini. Namun pengetahuan ilmiah tidak otomatis menghapus stigma sosial.
Di sinilah pekerjaan tambahan diperlukan. Penanganan HIV bukan hanya proses medis, tetapi juga proses sosial. Untuk melawan epidemi, masyarakat harus lebih cepat daripada prasangka.
Keterlambatan Diagnosis dan Putus Berobat
Dua masalah struktural yang masih membayangi upaya penanggulangan HIV di Bali adalah keterlambatan diagnosis dan putus berobat (lost to follow up). Banyak kasus baru yang ditemukan dalam kondisi sudah mengalami gejala berat. Sebagian datang dengan infeksi oportunistik, bahkan ada yang datang dalam kondisi AIDS stadium lanjut. Ini bukan semata soal akses layanan, tetapi soal rasa takut memeriksakan diri.
Sementara itu, kasus putus berobat masih menjadi isu serius. Ketika terapi ARV dihentikan, viral load dapat melonjak dalam hitungan hari. Bila kondisi ini berlangsung lama, risiko resistensi obat meningkat, memperburuk kondisi tubuh, serta meningkatkan risiko penularan baru. Dalam konteks epidemi, satu orang yang berhenti minum obat dapat berdampak pada banyak orang.
Untuk Bali yang memiliki mobilitas penduduk tinggi, menjaga keberlanjutan terapi membutuhkan strategi khusus: fleksibilitas layanan, konsistensi pendampingan, dan sistem deteksi dini terhadap kelompok berisiko putus berobat.
Kekuatan Bali
Namun Bali tidak hanya memiliki tantangan; Bali juga memiliki kelebihan struktural yang dapat menjadikan penanggulangan HIV lebih kuat daripada daerah lain.
Pertama, keberadaan Kader Desa Peduli AIDS. Kader desa adalah kekuatan sosial yang sebagian besar indonesia tidak miliki. Mereka adalah warga desa yang dilatih untuk memberikan edukasi, pendampingan, dan rujukan. Karena mereka bagian dari komunitas, mereka dipercaya warganya. Mereka menjadi penghubung antara layanan kesehatan dengan masyarakat yang sering kali takut berinteraksi dengan fasilitas formal.
Kedua, Bali memiliki jaringan edukasi remaja yang kuat melalui KSPAN (Kelompok Siswa Peduli AIDS dan Narkoba) dan KMPA (Kelompok Mahasiswa Peduli AIDS). Hingga juga KJPA (Kelompok Jurnalis Peduli AIDS). Dalam konteks epidemi yang kini banyak terjadi pada kelompok muda, pendekatan sebaya terbukti jauh lebih efektif daripada penyuluhan formal. Kelompok-kelompok ini menjalankan fungsi strategis: menciptakan ruang aman untuk bertanya, mengurangi stigma, dan membangun pemahaman berbasis fakta.
Ketiga, Bali memiliki sejarah panjang sinergi multipihak dalam isu HIV. Komunitas populasi kunci, organisasi masyarakat sipil seperti Citra Usadha, Kerti Praja, PKBI Bali, Yakeba, Spirit Paramacitta, Gaya Dewata, Kapelata, dan lainnya, telah lama menjadi mitra strategis pemerintah. Mereka menjangkau kelompok-kelompok yang sulit dijangkau layanan formal. Instrumen ini menjadi kekuatan unik yang membuat Bali lebih tangguh menghadapi dinamika epidemi.
Keempat, keberadaan Rencana Aksi Daerah (RAD) HIV/AIDS Bali 2024–2029 yang menjadi penopang kebijakan jangka panjang. Dokumen ini tidak hanya memberikan arah strategis, tetapi memastikan bahwa penanggulangan HIV tidak bergantung pada satu figur atau satu periode kepemimpinan. RAD membuat penanggulangan HIV menjadi agenda pembangunan yang berkelanjutan.
Transisi Pendanaan: Ujian Baru
Salah satu tantangan terbesar saat ini adalah transisi dari pendanaan donor internasional ke pendanaan nasional dan daerah. Selama bertahun-tahun, banyak kegiatan penjangkauan, pendampingan, dan edukasi dilakukan oleh organisasi komunitas dengan dukungan donor. Ketika sumber pendanaan ini menghilang, upaya-upaya vital terancam terhenti.
Bali sedang melalui transisi ini. Dan seperti daerah lain, Bali sedang belajar untuk membangun mekanisme pendanaan yang lebih kuat dari dalam negeri. Tanpa jembatan yang kokoh, risiko ketidakterjangkauan layanan akan meningkat, terutama pada populasi yang paling rentan.
Transisi pendanaan adalah ujian bagi semua pihak: pemerintah, dunia usaha, masyarakat sipil, dan komunitas. Transparansi, akuntabilitas, dan prioritas anggaran kesehatan menjadi syarat utama agar upaya penanggulangan HIV tidak mundur.
Peran Kemanusiaan dalam Layanan Kesehatan
HIV selalu mengingatkan kita bahwa kesehatan bukan semata urusan medis. HIV adalah isu kemanusiaan yang melibatkan nilai, relasi sosial, keberanian, dan kasih sayang.
Ada seorang perempuan di Denpasar yang memulai ARV setelah mengalami penurunan berat badan drastis. Ia terlambat mengambil keputusan karena takut keluarganya sedih dan takut tetangga berbicara di belakang. Setelah menjalani pendampingan dan memulai terapi, ia menunjukkan perubahan signifikan. Dalam suatu sesi konseling, ia berkata, “Yang saya butuhkan bukan hanya obat, tetapi seseorang yang mau mendengarkan.” Pernyataan itu sederhana, tetapi menggambarkan esensi HIV: bahwa setiap orang membutuhkan ruang aman untuk mencari pertolongan.

Menuju Ending AIDS 2030
Apakah Ending AIDS 2030 realistis? Jawabannya: ya, jika kita tidak berhenti memperbaiki diri. Untuk mencapainya, Bali membutuhkan tiga hal: (1) tes HIV yang lebih mudah dan diterima; (2) terapi ARV yang dijaga keberlanjutannya; (3) lingkungan sosial yang bebas stigma. Ending AIDS bukan hanya target teknis, tetapi kontrak moral: bahwa tidak ada satu pun warga yang ditinggalkan dalam perjuangan melawan epidemi.
Hari AIDS Sedunia 2025 adalah pengingat bahwa perubahan akan selalu datang, tetapi layanan HIV tidak boleh goyah. Selama Bali menjaga layanan, memperkuat koordinasi, dan mempertahankan empati sosialnya, jalan menuju Ending AIDS 2030 tetap terbuka.
“Perjalanan ini panjang, tetapi selama kita berjalan bersama, tidak ada langkah yang sia-sia.”
Oleh: dr. Oka Negara
Ketua Pokja Monitoring & Evaluasi KPA Provinsi Bali
Ketua Forum Peduli AIDS Bali
Ketua Pengurus PKBI Bali




