Oleh : I Gusti Ayu Cintya Adianti – Poltekkes Denpasar (Juara I lomba artikel International Youth Day 2017)
Semua orang menganggapku aneh, memandangku jijik, menjauhiku bagaikan hama, memperlakukan aku layaknya aku tidak berguna, bukan orang yang pantas untuk hidup di dunia ini. Aku gay, salahkah aku ?
Masyarakat pada umumnya menganggap bahwa cinta yang normal adalah cintanya laki – laki kepada perempuan, dan perempuan kepada laki-laki. Jika ada cinta di luar itu maka cinta itu dianggap tidak normal, atau pelakunya dianggap memiliki gangguan jiwa. Hal itu dinamakan heteronormativitas. Heteronormativitas adalah anggapan bahwa semua orang di muka bumi ini adalah heteroseksual alias menyukai lawan jenis, dan memiliki peran serta sifatsifat yang sama. Dalam cara pikir ini, anda akan beranggapan bahwa itu adalah keadaan alami yang sudah ada sejak dahulu dan siapapun yang tidak sesuai dengan hal tersebut akan dianggap tidak normal, menyalahi kodrat/aturan/norma yang berlaku. Seperti yang diungkapkan oleh Rangga Wirianto Putra dalam novelnya “Cinta itu adalah untuk diperjuangkan. Benar atau salah, benar adalah bagi mereka yang jatuh cinta, salah! untuk mereka yang berpikiran heteronormatif.” Seperti itulah gambaran masayarakat pada umumnya.
Anak laki-laki keperempuan-perempuanan, anak perempuan kelaki-lakian baik dari segi penampilan atau sikapnya dianggap sebagai penyimpangan orientasi dan perilaku seksual. Sebagian besar justru menyalahkan keluarga sebagai salah satu pihak yang paling dominan menyebabkan penyimpangan pada buah hatinya. Menyalahkan pola asuh, ketidakseimbangan antara figur ayah dan ibu, ataupun kesalahan dalam mengambil atau menentukan role model. Semua itu dianggap sebagai penyebab penyimpangan orientasi dan perilaku seksual dari segi sosial.
Mirisnya lagi jika melihat peningkatan kasus kekerasan dan diskriminasi pada mereka yang dianggap tidak normal pada 3 tahun belakangan ini. Sebanyak 37 LBT (Lesbian, Biseksual, Transgender) melaporkan kasus kekerasannya selama tahun 2014. Angka ini jauh lebih sedikit dari realita yang terjadi. Buku hasil penelitian Arus Pelangi Menguak Stigma, Kekerasan & Diskriminasi Pada LGBT di Indonesia: Studi Kasus di Jakarta, Yogyakarta, dan Makassar mencatat data berikut:
Dari 335 responden LGBTI di Jakarta, Yogyakarta & Makassar:
1. Sebanyak 299 (89,3%) menyatakan pernah pengalami kekerasan 3 tahun terakhir.
2. Jenis kekerasan yang dialami LGBT: psikis (79,1%), fisik (46,3%), ekonomi (26,3%), seksual (45,1%), budaya (63,3%).
Hal tersebut terjadi karena masyarakat pada umumnya tidak bisa menerima kelompok LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) sebagai salah satu orientasi seksual yang normal, bukan sebagai kelainan, gangguan jiwa, dan suatu penyimpangan.
Sesungguhnya orientasi seksual adalah kecenderungan seseorang untuk menyukai atau tertarik kepada gender tertentu baik secara emosional maupun seksual. Alfred Kinsey dalam penelitiannya menemukan bahwa, untuk sebagian besar partisipan, perilaku, pemikiran, dan perasaan seksual terhadap sesama gender atau lain gender ternyata tidak selalu konsisten setiap saat. Menariknya hasil penelitian tersebut juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Fritz Klein yang hasilnya hampir sama dengan yang dilakukan Kinsey yaitu menunjukkan bahwa orientasi seksual yang dinamis (alias tidak selalu konsisten).
Seksualitas pun bersifat cair, kadang dapat bergeser ke arah berlawanan. Ada empat orientasi seksual yaitu; heteroseksual, homoseksual, biseksual, dan panseksual. Homoseksual adalah ketertarikan dengan gender yang sama baik secara emosional maupun seksual. Gay dan lesbian termasuk bentuk dari homoseksual. Biseksual merupakan ketertarikan dengan laki-laki dan perempuan baik secara emosional maupun seksual. Inilah yang dapat menjadi contoh dari kecairan seksualitas. Heteroseksual adalah ketertarikan terhadap gender yang berbeda. Misalnya laki-laki menyukai perempuan, atau sebaliknya. Dan yang terakhir, panseksual adalah orientasi yang tidak melihat gender atau seks untuk sebuah hubungan.
Mitos yang beredar di masyarakat yang mengatakan bahwa homoseksualitas adalah suatu gangguan jiwa sepenuhnya tidak benar. Karena berdasarkan PPDGJ III Homoseksual (Gay dan Lesbian) dan biseksual tidak termasuk gangguan jiwa. Pada kode F66 Gangguan Psikologis dan Perilaku yang Berhubungan Dengan Perkembangan dan Orientasi Seksual, di bagian bawahnya tertulis sebuah catatan yaitu orientasi seksual sendiri jangan dianggap sebagai suatu gangguan.
Sekarang bukalah mata dan hati anda, lalu mulai pahami bahwa memang adalah hak anda untuk tidak menerima, tidak percaya, dan menganggap homoseksual itu sebagai suatu penyimpangan, namun hanya karena Anda tidak setuju, bukan berarti Anda lantas berhak
menghakimi dan merendahkan kemanusiaan mereka. Pun Anda tidak berhak memaksakan pendapat dan kehendak anda kepada mereka